Senin, 05 Juli 2010

Arah yang Berbeda

Ketika mulut mengatakan "arah barat", sementara tangan menunjuk ke "arah timur" maka yang menjadi acuan adalah arah yg ditunjukkan tangan, bukan arah yang diucapkan oleh mulut :-)


Ungkapan ini pernah saya tulis dalam status fesbukku pada Sabtu (3/7/2010) kemarin. Saya tiba-tiba saja ingin menulisnya. Ungkapan itu boleh jadi menggambarkan seseorang yang panik sehingga keinginan mulut mengatakan arah barat diterjemahkan berbeda oleh tangan.

Tetapi, bukan itu yang saya maksudkan, tapi lebih dari itu. Sebagus apa pun retorika seseorang, semanis apa pun janji seseorang menjadi tidak berarti jika tidak dibuktikan dengan tindakan. Ucapan yang baik dan janji yang manis hanya akan menjadi bumerang jika tidak dibuktikan dengan perilaku atau tindakan. Sebab, pada akhirnya, orang lain itu akan menilai diri kita melalui perilaku kita, bukan melalui ucapan kita semata.

Karena itu, seyogianya kita berpikir seribu kali sebelum keinginan kita terucap menjadi sebuah janji. Mampukah kita mewujudkan janji itu dalam bentuk tindakan. Jika kita sudah yakin akan mampu untuk mewujudkannya, tanyakan sekali lagi. Lalu tanyakan sekali lagi. Jika kita yakin, baru kita menyampaikan janji itu. Itu pun disertai penjelasan dasar keyakinan kita mengapa berani berjanji. Penjelasan dasar keyakinan tersebut penting untuk disampaikan sebagai langkah preventif jangan-jangan janji yang kita ucapkan, yang telah kita yakini akan terwujud, tidak bisa diaplikasikan. Sehingga orang yang menerima janji tidak kecewa-kecewa amat.

Jangan sesekali berjanji kepada orang lain, jika kita sendiri ragu untuk dapat melakukan janji tersebut. Anda boleh menilai diri Anda berdasarkan pikiran dan rencana Anda, tetapi orang lain menilai diri Anda berdasar apa yang Anda lakukan.

Setelah kita mengucapkan janji dengan mantap, tetapi kita tidak mampu untuk melakukannya, karena alasan apa pun, kita bisa saja "ngeles" dan membuat alasan yang bermacam-macam. Sekali-dua kali kita tidak dapat menepati janji, mungkin orang yang menerima janji kita bisa memaklumi. Tetapi, jika itu dilakukan berulang-ulang, kita akan dicap sebagai orang yang hanya pinter ngomong aja, tapi gak pernah teralisasi. Pada gilirannya, siap-siaplah kita mendengar orang nyolot ketika kita berbicara, "Omdo!" [Omong doang!]

Di dunia, kita masih berkesempatan untuk berapologi atas setiap janji yang tidak bisa kita tepati, atas setiap kebohongan yang telah kita lakukan. Karena tidak ada satu orang pun yang dapat mendengar detak jantung kita, dan tidak ada seorang pun yang mampu membaca pikiran kita. Akan tetapi, di akhirat kelak, kesempatan itu tidak akan ada. Mulut kita dikunci. Hanya tanganlah yang bisa berbicara. Sedang kaki menjadi saksi atas seluruh perbuatan kita!

So, jika tangan kita hanya mampu menunjuk arah barat, mulut tak usah mengucap arah timur!

Kamis, 21 Januari 2010

Usia

Usia merupakan bagian dari rahasia Tuhan. Sama dengan jodoh dan rezeki. Ketiganya sudah ditakar oleh Tuhan. Tidak ada seorang hamba pun di muka bumi ini yang dapat mengetahui dan mengubahnya. Usia seseorang sudah ditentukan dalam ketetapan-Nya. Belum ada, dan tak akan pernah ada, seseorang yang kuasa mengubah, apalagi menolak, ketika usia seseorang sudah mencapai titik finish. Mempercepat atau memperlambatnya. Sedetik pun.

Sebagai sebuah rahasia, seorang hamba tidak dapat mengetahui berapa jatah usianya untuk mampir di dunia fana yang sebentar ini. Kita tidak pernah tahu, kapan Malaikat Maut akan bertamu, meski tidak kita undang, untuk mencabut nyawa kita. Bisa tahun depan, bulan depan, minggu depan, besok, malam nanti, hari ini, atau sebentar lagi.

Memiliki obsesi yang tinggi dan kecintaan terhadap dunia sering membuat kita lupa bahwa maut itu bisa datang kapan saja. Tidak menunggu usia kita renta. Maut adalah sesuatu yang tidak pasti sekaligus pasti. Ya, tidak dapat dipastikan oleh manusia kapan maut itu kapan datang. Tetapi, maut dapat dipastikan datang menjemput manusia. Maut bisa datang dengan cara apa pun. Bisa didahului sakit, dan bisa tanpa sebab. Maut datang tiba-tiba, tanpa pamit.

Jika kita dapat mengetahui kapan usia seseorang akan berakhir, atau maut terlebih dahulu ketika ia hendak menjemput, tentu kita bersiap-siap terlebih dahulu untuk meninggalkan dunia ini. Menyelesaikan seluruh urusan duniawi, menambah bekal sebanyak-banyaknya untuk menghadapi kehidupan abadi, serta memohon ampun dari lumuran dosa.

Sayangnya, kapan usia kita berakhir tidak pernah diketahui, dan maut pun tak pernah pamit. Maut bisa saja menjemput kita pada saat beribadah, dan bisa saja ruh kita berpisah dengan jasad kita pada saat kita melakukan maksiat.

Kita tidak memiliki opsi dalam menghadapi usia. Opsi satu-satunya yang kita miliki hanya mempersiapkan diri untuk dipanggil menghadap-Nya, dengan bekal kebaikan sebanyak mungkin.