Al-Haqqu bi lâ nizhâmin, yaglibuhul-bâthil bi nizhâmin 'Kebenaran yang tidak terorganisasi dapat dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisasi'.
Ungkapan Ali bin Abu Thalib tersebut menegaskan urgensi pengorganisasian dalam menjalankan sebuah aktivitas. Perngorganisasian terdiri atas, antara lain, penyusunan rencana tugas (planning), pengaturan dan pembagian tugas (organizing & staffing), koordinasi dan pengontrolan (coordinating & controlling), dan evaluasi (evaluating). Pengorganisasian itulah yang akan menentukan kadar keberhasilan dari sebuah aktivitas.
Pengorganisasian itu mutlak dibutuhkan bagi sebuah lembaga atau perusahaan (atau yang sejenisnya) yang menginginkan kesuksesan–memimjam istilahnya dr. Boyke—spektakuler.
Menyadari hal itu, setahap demi setahap, Pena Pundi Aksara, sebagai salah satu perusahaan yang bergerak di bidang penerbitan buku dan Al-Qur`an, merancang dan menerapkan berbagai ketentuan dan aturan yang berlaku internal maupun eksternal.
Sejak terbentuknya HRD, yang beafiliasi ke Divisi Operasional, hampir setiap bulan lahir ketentuan dan aturan baru yang mengikat seluruh karyawan. Sebut saja, lahirnya RKA pada bulan Mei 2008, regulasi keterlambatan pada bulan Juni 2008, dan—terakhir—ketentuan pemotongan gaji bagi karyawan yang terlambat yang diwacanakan secara resmi oleh HRD pada bulan Juli 2008.
Kelahiran RKA (Rencana Kendali Aksi), sejauh pemantauan Segar, direspons positif oleh mayoritas karyawan Pena, terutama oleh para manajer atau kepala bagian karena lebih mudah, setidaknya, dalam melakukan monitoring aktivitas yang belum, sedang, dan telah berlangsung. Meskipun, sebagian karyawan, mengeluhkan teknis pelaksaan RKA agak merepotkan. Misalnya, penulisan rencana aktivitas yang masih menggunakan cara manual, sementara beberapa karyawan sudah terbiasa menulis laporan di komputer, di samping, terkadang penyediaan lembaran RKA terlambat beberapa hari.
Sebulan setelah lahirnya RKA, HRD mengeluarkan surat regulasi keterlambatan. Lahirnya surat ini sebagai respons dari kondisi makro yang tidak stabil yang berefek pada kondisi mikro perusahaan. Tujuan regulasi itu, antara lain, "Menjaga efektivitas waktu kerja dan menekan penggunaan waktu yang sia-sia," tulis HRD dalam surat bernomor 101/PENA-HRD/0608.
Surat regulasi keterlambatan itu memuat ketentuan-ketentuan keterlambatan, antara lain, (1) waktu toleransi untuk keterlambatan paling banyak adalah 2 jam untuk jangka waktu 1 bulan; (2) jika karyawan melebihi waktu toleransi keterlambatan 2 jam, maka karyawan yang bersangkutan harus mengganti waktu keterlambatan itu di luar jam kerja dengan mengisi form kompensasi dari Bagian HRD; (3) jika karyawan terlambat lebih dari 4 jam untuk jangka waktu 1 bulan, maka akan berakibat pada pemotongan uang transpor.
Regulasi keterlambatan ini, tak pelak, memantik kontroversi dari sejumlah karyawan Pena. Terutama karena dalam surat regulasi keterlambatan itu belum dijelaskan secara teperinci dan definitif: keterlambatan seperti apa yang dimaksud dengan terlambat. Misalnya, keterlambatan tanpa izin, atau keterlambatan dengan izin selama tidak melebihi tempo yang ditetapkan. Sementara itu, keterlambatan terencana atau keterlambatan karena musibah yang menimpa tiba-tiba, tidak disinggung di dalam surat itu atau dalam penjelasan yang menjabarkan ketentuan yang tertulis di dalam surat itu. Ataukah keterlambatan dalam surat itu berlaku untuk seluruh jenis keterlambatan, baik izin maupun tidak? Jika keterlambatan itu tidak berlaku bagi karyawan yang izin, keterlambatan seperti apa yang diperbolehkan untuk izin sehingga data keterlambatan perlu dianulir.
Belum lagi, pemberlakuan regulasi keterlambatan itu yang tidak lazim. Regulasi keterlambatan itu berlaku sejak 21 Mei 2008, sementara surat regulasi keterlambatan itu baru diterbitkan 13 Juni 2008. Salah seorang karyawan Pena memberikan catatan atas pemberlakuan regulasi yang tidak lazim itu dengan statemen bahwa tidak ada hukum yang berlaku surut: hukum selalu berlaku setelah hukum itu ditetapkan, bukan sebelum hukum itu ditetapkan.
Sementara itu, pada tanggal 16 Juli kemarin, HRD mengeluarkan memo tentang ketentuan kompensasi keterlambatan. Karyawan yang terlambat datang di kantor, menurut memo itu, akan dikenakan sanksi pemotongan gaji. Jumlah gaji yang akan dipotong disesuaikan dengan jabatan karyawan yang bersangkutan. Manajer: Rp100.000; Kabag; Rp50.000; Kasie: Rp35.000; Staf: Rp25.000.
"Ketentuan pemotongan gaji ini baru akan diberlakukan setelah Surat Keputusan mengenai hal itu diterbitkan," tegas HRD dalam memo itu.
Wacana ketentuan itu mengundang sejumlah pertanyaan dan reaksi yang beragam dari karyawan. Bagi sebagian karyawan, ketentuan pemotongan gaji bagi karyawan yang terlambat dinilai sebagai ketentuan yang wajar, mengingat seorang karyawan digaji oleh perusahaan untuk jam kerja yang telah ditentukan. Dalam koteks Pena, jam kerja itu adalah pukul 08.00 s.d. 17.00.
Namun, bagi karyawan yang lain, ketentuan itu dianggap terlalu memberatkan dan terlalu sadis, karena jika tujuannya adalah kedisiplinan, hal itu masih bisa ditempuh dengan cara lain, salah satunya dengan cara mengganti waktu keterlambatan dengan pekerjaan yang serupa, atau dengan mengguanakan cara yang lebih elegan yang bermuara pada win win solution: perusahaan dan karyawan sama-sama tidak ada yang dirugikan. Peraturan yang disampaikan melalui hati akan diterima dan dilaksanakan dengan hati pula!
Pertanyaan yang mengemuka dari beberapa karyawan pascawacana ketentuan pemotongan gaji itu adalah, antara lain, mempertanyakan standardisasi penentuan nominal pemotongan gaji: RP100.000, Rp50.000, Rp35.000, dan Rp25.000. Ada juga karyawan yang mempertanyakan ketentuan pemotongan gaji itu hanya berlaku bagi level manajer, kabag, kasie, dan staf, tetapi tidak berlaku bagi level direktur. Bukankah kepemimpinan itu adalah keteladanan. Ataukah ketentuan pemotongan gaji itu berlaku bak filosofi pisau dapur: tajam ke bawah dan tumpul ke atas?
Terlepas dari kontroversi itu, dalam pemantauan Segar secara acak, sejak diterbitkannya regulasi keterlambatan dan diwacanakannya ketentuan pemotongan gaji bagi karyawan yang terlambat, jumlah karyawan yang terlambat datang ke kantor semakin sedikit.
Bagaimanapun, ketentuan yang berlaku di lingkungan Pena perlu dukungan aktif dari seluruh pihak. Dukungan aktif tidak mesti hanya dengan cara menerima apa adanya, tetapi dapat dengan cara memberikan masukan sekiranya ada hal-hal yang perlu diperbaiki dari ketentuan yang dikeluarkan oleh perusahaan. Toh, Pena menganut pola Open Management. Seluruh pihak bebas berpendapat dan menerima kritik konstruktif. Jika Pena maju, kita juga yang akan menikmatinya.
Cempaka Putih, 27 Juli 2008
(Oretan ini sebagai sumbangan data untuk dikontribusikan ke buletin Segar-nya Penerbit Pena, edisi II, Juli 2008)
Ungkapan Ali bin Abu Thalib tersebut menegaskan urgensi pengorganisasian dalam menjalankan sebuah aktivitas. Perngorganisasian terdiri atas, antara lain, penyusunan rencana tugas (planning), pengaturan dan pembagian tugas (organizing & staffing), koordinasi dan pengontrolan (coordinating & controlling), dan evaluasi (evaluating). Pengorganisasian itulah yang akan menentukan kadar keberhasilan dari sebuah aktivitas.
Pengorganisasian itu mutlak dibutuhkan bagi sebuah lembaga atau perusahaan (atau yang sejenisnya) yang menginginkan kesuksesan–memimjam istilahnya dr. Boyke—spektakuler.
Menyadari hal itu, setahap demi setahap, Pena Pundi Aksara, sebagai salah satu perusahaan yang bergerak di bidang penerbitan buku dan Al-Qur`an, merancang dan menerapkan berbagai ketentuan dan aturan yang berlaku internal maupun eksternal.
Sejak terbentuknya HRD, yang beafiliasi ke Divisi Operasional, hampir setiap bulan lahir ketentuan dan aturan baru yang mengikat seluruh karyawan. Sebut saja, lahirnya RKA pada bulan Mei 2008, regulasi keterlambatan pada bulan Juni 2008, dan—terakhir—ketentuan pemotongan gaji bagi karyawan yang terlambat yang diwacanakan secara resmi oleh HRD pada bulan Juli 2008.
Kelahiran RKA (Rencana Kendali Aksi), sejauh pemantauan Segar, direspons positif oleh mayoritas karyawan Pena, terutama oleh para manajer atau kepala bagian karena lebih mudah, setidaknya, dalam melakukan monitoring aktivitas yang belum, sedang, dan telah berlangsung. Meskipun, sebagian karyawan, mengeluhkan teknis pelaksaan RKA agak merepotkan. Misalnya, penulisan rencana aktivitas yang masih menggunakan cara manual, sementara beberapa karyawan sudah terbiasa menulis laporan di komputer, di samping, terkadang penyediaan lembaran RKA terlambat beberapa hari.
Sebulan setelah lahirnya RKA, HRD mengeluarkan surat regulasi keterlambatan. Lahirnya surat ini sebagai respons dari kondisi makro yang tidak stabil yang berefek pada kondisi mikro perusahaan. Tujuan regulasi itu, antara lain, "Menjaga efektivitas waktu kerja dan menekan penggunaan waktu yang sia-sia," tulis HRD dalam surat bernomor 101/PENA-HRD/0608.
Surat regulasi keterlambatan itu memuat ketentuan-ketentuan keterlambatan, antara lain, (1) waktu toleransi untuk keterlambatan paling banyak adalah 2 jam untuk jangka waktu 1 bulan; (2) jika karyawan melebihi waktu toleransi keterlambatan 2 jam, maka karyawan yang bersangkutan harus mengganti waktu keterlambatan itu di luar jam kerja dengan mengisi form kompensasi dari Bagian HRD; (3) jika karyawan terlambat lebih dari 4 jam untuk jangka waktu 1 bulan, maka akan berakibat pada pemotongan uang transpor.
Regulasi keterlambatan ini, tak pelak, memantik kontroversi dari sejumlah karyawan Pena. Terutama karena dalam surat regulasi keterlambatan itu belum dijelaskan secara teperinci dan definitif: keterlambatan seperti apa yang dimaksud dengan terlambat. Misalnya, keterlambatan tanpa izin, atau keterlambatan dengan izin selama tidak melebihi tempo yang ditetapkan. Sementara itu, keterlambatan terencana atau keterlambatan karena musibah yang menimpa tiba-tiba, tidak disinggung di dalam surat itu atau dalam penjelasan yang menjabarkan ketentuan yang tertulis di dalam surat itu. Ataukah keterlambatan dalam surat itu berlaku untuk seluruh jenis keterlambatan, baik izin maupun tidak? Jika keterlambatan itu tidak berlaku bagi karyawan yang izin, keterlambatan seperti apa yang diperbolehkan untuk izin sehingga data keterlambatan perlu dianulir.
Belum lagi, pemberlakuan regulasi keterlambatan itu yang tidak lazim. Regulasi keterlambatan itu berlaku sejak 21 Mei 2008, sementara surat regulasi keterlambatan itu baru diterbitkan 13 Juni 2008. Salah seorang karyawan Pena memberikan catatan atas pemberlakuan regulasi yang tidak lazim itu dengan statemen bahwa tidak ada hukum yang berlaku surut: hukum selalu berlaku setelah hukum itu ditetapkan, bukan sebelum hukum itu ditetapkan.
Sementara itu, pada tanggal 16 Juli kemarin, HRD mengeluarkan memo tentang ketentuan kompensasi keterlambatan. Karyawan yang terlambat datang di kantor, menurut memo itu, akan dikenakan sanksi pemotongan gaji. Jumlah gaji yang akan dipotong disesuaikan dengan jabatan karyawan yang bersangkutan. Manajer: Rp100.000; Kabag; Rp50.000; Kasie: Rp35.000; Staf: Rp25.000.
"Ketentuan pemotongan gaji ini baru akan diberlakukan setelah Surat Keputusan mengenai hal itu diterbitkan," tegas HRD dalam memo itu.
Wacana ketentuan itu mengundang sejumlah pertanyaan dan reaksi yang beragam dari karyawan. Bagi sebagian karyawan, ketentuan pemotongan gaji bagi karyawan yang terlambat dinilai sebagai ketentuan yang wajar, mengingat seorang karyawan digaji oleh perusahaan untuk jam kerja yang telah ditentukan. Dalam koteks Pena, jam kerja itu adalah pukul 08.00 s.d. 17.00.
Namun, bagi karyawan yang lain, ketentuan itu dianggap terlalu memberatkan dan terlalu sadis, karena jika tujuannya adalah kedisiplinan, hal itu masih bisa ditempuh dengan cara lain, salah satunya dengan cara mengganti waktu keterlambatan dengan pekerjaan yang serupa, atau dengan mengguanakan cara yang lebih elegan yang bermuara pada win win solution: perusahaan dan karyawan sama-sama tidak ada yang dirugikan. Peraturan yang disampaikan melalui hati akan diterima dan dilaksanakan dengan hati pula!
Pertanyaan yang mengemuka dari beberapa karyawan pascawacana ketentuan pemotongan gaji itu adalah, antara lain, mempertanyakan standardisasi penentuan nominal pemotongan gaji: RP100.000, Rp50.000, Rp35.000, dan Rp25.000. Ada juga karyawan yang mempertanyakan ketentuan pemotongan gaji itu hanya berlaku bagi level manajer, kabag, kasie, dan staf, tetapi tidak berlaku bagi level direktur. Bukankah kepemimpinan itu adalah keteladanan. Ataukah ketentuan pemotongan gaji itu berlaku bak filosofi pisau dapur: tajam ke bawah dan tumpul ke atas?
Terlepas dari kontroversi itu, dalam pemantauan Segar secara acak, sejak diterbitkannya regulasi keterlambatan dan diwacanakannya ketentuan pemotongan gaji bagi karyawan yang terlambat, jumlah karyawan yang terlambat datang ke kantor semakin sedikit.
Bagaimanapun, ketentuan yang berlaku di lingkungan Pena perlu dukungan aktif dari seluruh pihak. Dukungan aktif tidak mesti hanya dengan cara menerima apa adanya, tetapi dapat dengan cara memberikan masukan sekiranya ada hal-hal yang perlu diperbaiki dari ketentuan yang dikeluarkan oleh perusahaan. Toh, Pena menganut pola Open Management. Seluruh pihak bebas berpendapat dan menerima kritik konstruktif. Jika Pena maju, kita juga yang akan menikmatinya.
Cempaka Putih, 27 Juli 2008
(Oretan ini sebagai sumbangan data untuk dikontribusikan ke buletin Segar-nya Penerbit Pena, edisi II, Juli 2008)