Man ahsana al-istimâ'a, ta'ajjala al-intifâ'a
"Barang siapa yang paling baik dalam mendengarkan, dialah yang paling cepat dalam memperoleh manfaat."
(Ali bin Abu Thalib)
Mendengarkan dengan baik, dalam psikologi dikenal dengan istilah mendengar sepenuh hati. Mendengar (as-sam'u) dapat dilakukan oleh setiap manusia, bahkan hewan, yang tidak ada problem dengan pendengarannya (baca: tuli), tetapi mendengarkan atau mendengar sepenuh hati (al-istima') hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu. Salah satu bukti bahwa kita bisa mendengarkan, kita mampu memberikan tanggapan (response), bukan reaksi (reaction) terhadap lawan bicara kita. Reaksi dengan tanggapan adalah dua hal yang hampir sama, tetapi sebenarnya berbeda, dan kita sering kesulitan membedakannya.
Secara sederhana, reaksi bisa didefinisikan sebagai sebuah tindakan untuk menandingi atau untuk menghadapi tindakan sebelumnya maupun yang sedang terjadi (action). Sedangkan response adalah memberikan pehatian terhadap apa yang dilakukan oleh orang lain dan berupaya memahaminya serta memberi umpan balik yang terbaik. Terlepas umpan balik itu bersifat positif atau negatif. Sikap yang reaktif membuat orang lain merasa disepelekan, tidak dianggap dan tidak didengar, sementara respons yang baik membuatnya merasa diperhatikan dan dihargai. Kalau kita memberikan respons, ia tidak akan merasa diabaikan pendapatnya ketika kita tidak menyetujui usulannya karena kita memerhatikan usulan-usulannya, harapannya, dan suara hatinya. Ia melihat ketidaksetujuan kita karena pertimbangan untuk mencapai kemaslahatan bersama, bukan karena tidak menghargainya. Akan tetapi, apabila menolak secara reaktif, ia akan merasa kita mau menang sendiri sehingga jangan kaget bila akhirnya ia berkomentar yang kurang enak didengar, misalnya “Ya udah, saya nggak usah ngomong, percuma saya ngomong kalau kamu nggak menganggap penting.” Sering kita mendengar bukan, ungkapan yang demikian?
Bagaimana agar kita bisa mendengarkan dengan baik? Agar bisa mendengar sepenuh hati, kiranya perlu belajar memberi tanggapan yang hangat (negatif maupun positif). Bukan mereaksi. Tanggapan yang hangat bisa ditunjukkan dengan kata-kata, atau bahasa tubuh. Memberikan tanggapan bisa dengan ekspresi wajah kita, gerak tubuh, atau sikap duduk kita. Sederhana bukan? Memang! Sangat sederhana! Yang tidak sederhana adalah menata hati untuk melaksanakannya. Telinga kita dua, sedangkan mulut cuma satu, tetapi alangkah sedikitnya kita menggunakan telinga.
Selain memberikan respons kepada lawan bicara, mendengar dengan baik dapat dibuktikan dengan memberikan empati (merasakan apa yang dialami oleh orang lain sebagaimana dia merasakan), memberikan perhatian yang hangat, dan membuka hati untuk menerima.
Jamies K. Van Fleet (1999) menawarkan lima teknik agar kita bisa mendengar sepenuh hati sehingga orang lain mau membuka diri dan mau berbicara dengan kita. Pertama, melihat kepada orang yang berbicara. Jangan sampai kita terusik oleh apa pun juga. Orang yang sedang berbicara akan segera mengetahui kurangnya perhatian kita dan akan kecewa karenanya. Kedua, tunjukkan minat pada apa yang ia katakan. Jangan ucapkan sepatah kata pun. Anggukkan saja kepala kita dan senyumlah jika perlu. Ketiga, condongkan badan ke arah orang itu. Ini menunjukkan kepedulian mendalam pada apa yang dikatakan oleh orang lain. Keempat, gunakan umpan balik agar ia tetap berbicara. Kita dapat menunjukkan kepedulian kita dan menjaga agar lawan bicara tetap berbicara dengan mengatakan hal-hal seperti 'WalLâhi'... oh, ya... saya tahu... itu memang benar. Kelima, ajukan pertanyaan bila perlu. Yang perlu kita lakukan hanya bertanya, "Lantas apa yang Anda katakan padanya?" atau, "Kemudian, apa yang Anda lakukan?" Itu sudah cukup untuk tidak membuat orang lain kecewa, dan menjaga agar orang itu tetap berbicara untuk jangka waktu tak terbatas.
Selain lima teknik yang tawarkan Jamies, Les Giblin (1995) menambahkan dua teknik lagi, untuk melengkapi teknik-teknik yang ditawarkan Jamies. Pertama, tetap mengikuti bahan percakapan si pembicara. Jangan mengganti bahan percakapan yang sedang dikemukakan orang lain sebelum dia selesai, tidak peduli apakah kita tidak sabar ingin memulai bahan percakapan baru. Kedua, gunakan kata-kata si pembicara untuk menyampaikan pendapat kita sendiri. Setelah orang lain selesai bicara, ulangi kembali kepadanya bebera hal yang dikatakannya. Ini bukan hanya membuktikan bahwa kita mendengarkan, melainkan juga merupakan cara yang baik untuk mengemukakan gagasan kita tanpa perlawanan. Awali beberapa komentar kita sendiri, dengan, "Sebagaimana yang telah Anda katakan..." atau, "Ini tepat seperti yang Anda katakan..."
Bila kita dapat berhasil mempraktikkan teknik-teknik mendengarkan yang ditawarkan oleh Jamies dan Giblin, berarti kita sudah menjadi pendengar sepenuh hati. Tindakan kita akan memberikan kesan positif pada lawan bicara. Bukan hanya itu! Mendengar sepenuh hati bukan hanya tidak mengecewakan orang lain, tetapi juga, "Anda akan disukai dan populer di mana pun Anda berada!" kata Jamies dengan penuh percaya diri.
***
Pembicaraan tentang mendengar sepenuh hati agar lebih sempurna, kita perlu menilik dan memeriksa—serta menghindari—beberapa hal yang dapat merusak "pendengaran" kita. Penilikan ini sangat penting, agar kita tidak sia-sia dalam mendengarkan.
Ibarat ibadah, meskipun kita sudah melakukannya dengan khusyu dan penuh kesungguhan, tetapi bila bercampur dengan syirik maka tak ada nilainya sama sekali. Begitu pula mendengar. Sekalipun kita tulus mendengarkannya, tetapi bila tak dapat menepis hal-hal yang merusak kebaikan mendengar maka kerelaan mendengar itu boleh jadi tidak membawa kebaikan.
Mohammad Fauzil Adhim (2002) mensinyalir, setidaknya ada lima faktor yang dapat membuat telinga tak bisa mendengar dengan baik. Pertama, memotong pembicaraan. Kesabaran untuk tidak memotong pembicaraan, telebih ketika yang berbicara kepada kita sedang dikuasai emosinya, akan meluluhkan sikap yang keras, meredakan gejolak amarah yang membakar, dan membangkitkan kebahagiaan pada hati yang sedang bersemangat. Kita, mungkin, masih ingat dengan seorang sahabat benama Uthbah yang datang hendak mematahkan semangat dan menjatuhkan Nabi Muhammad saw. dapat berubah secara mengejutkan karena kesabaran Nabi dalam mendengarkan dan sama sekali tidak memotong pembicaraan Uthbah.
Suasana psikologis yang paling tidak menyenangkan apabila kita sedang bersemangat sekali untuk bercerita, apalagi bila cerita itu sangat emosional, kemudian dipotong secara tiba-tiba. Bukan saja bisa membuat kita dongkol, pembicaraan yang terpotong tiba-tiba dapat menimbulkan situasi psikologis yang sangat tidak nyaman dan pikiran kita mengalami blocking. Kita tiba-tiba lupa akan apa yang mau kita bicarakan. Kita tiba-tiba mengalami transferensi atau pengalihan perasaan. Yang awalnya rasa tidak nyaman karena pembicaraan terpotong berubah menjadi kemarahan dan, bahkan, kebencian kepada orang yang memotong pembicaraan kita.
Kedua, menghakimi. Bila ada orang berbicara kepada kita, bersabarlah sejenak, usahakan untuk tidak menghakimi, apalagi menyalahkan. Menghakimi tanpa minta penjelasan (tabâyun) atau memvonis tanpa mendengarkannya sampai tuntas, akan mudah menyesatkan.
Ketika Rasulullah Saw. menghadapi pemuda yang datang kepada beliau untuk meminta izin berzina, Rasulullah Saw. tidak memberinya cap sebagai pendurhaka, tidak juga divonis sebagai penentang agama. Rasulullah Saw. memberinya kesempatan untuk berbicara. Dari sanalah beliau dapat mengarahkan pemuda tersebut kepada jalan kesucian tanpa perlu menyalahkan.
Ketiga, menerangkan. Saat percakapan berlangsung, kita mungkin sering mengalami, lawan bicara kita memberikan penjelasan atau komentar (ta'lîq) tidak perlu. Salah satu contoh penjelasan yang tidak perlu, tetapi sering terjadi di sekeliling kita, adalah ketika ada orang asyik menceritakan, "Waktu itu kak, saya belum tahu chating...?" Sebelum selesai berbicara, tiba-tiba lawan bicaranya menyahut, "Chating itu Mbak Siti, kan tinggal klik icon Yahoo Messenger, kemudian tulis ID dan Password, atau klik icon mIRC tulis nick dan chanel...."
Mari kita lihat kekeliruan yang terjadi pada percakapan tadi. Pertama, orang pertama sudah mengatakan bahwa ketidaktahuannya terjadi pada masa lalu. Frasa "waktu itu" menunjukkan bahwa saat ini dia sudah tidak lagi seperti waktu dahulu, dia sudah paham betul apa yang dulu dia tidak mengerti. Oleh arena itu, tidak perlu kita terangkan. Kedua, menerangkan perkara-perkara yang tidak perlu diterangkan justru menunjukkan satu di antara dua, atau bahkan kedua-duanya, yakni kesombongan atau kebodohan kita. Orang sombong menganggap orang lain berada di bawahnya sehingga ia ingin menunjukkan ketinggiannya, sedangkan yang bodoh berkata tanpa ilmu. Ia ingin menunjukkan kepandaiannya yang sangat sedikit, dan justru di situlah tampak betapa sedikitnya ilmu yang ia miliki.
Keempat, menasihati. Nasihat menasihati itu perintah agama; melaksanakannya merupakan kebaikan. Akan tetapi, ia berubah menjadi keburukan kalau kita tidak menyertai dengan cara yang tepat. Di antara sumber keburukan adalah hilangnya kesabaran. Kita tidak mampu menahan diri untuk manasihati. Bila kita mau mendengar sejenak, bisa jadi kita justru tak perlu memberi nasihat. Bersabarlah sejenak, bisa jadi orang yang akan kita beri nasihat sudah menyadari kekeliruannya.
Kelima, merasa tidak sabar. Tidak sabar mendengar bersumber dari keengganan untuk mendengarkan. Munculnya keengganan itu bisa karena ada hal yang lebih menarik bagi yang bersangkkutan, sedang tidak berminat untuk berbicara, atau karena tidak meminati isi pembicraan, atau bisa juga karena dia memang terbiasa tidak mendengarkan dengan baik.
Betapa sulitnya mendengarkan pada saat kita sedang berkeinginan untuk melakukan hal-hal lain. Semoga kita merupakan bagian dari "al-ladzina yastami'ûna al-qawla wa yattabi'ûna ahsanahu".
Nasr City, Kairo, medio 2003
"Barang siapa yang paling baik dalam mendengarkan, dialah yang paling cepat dalam memperoleh manfaat."
(Ali bin Abu Thalib)
Mendengarkan dengan baik, dalam psikologi dikenal dengan istilah mendengar sepenuh hati. Mendengar (as-sam'u) dapat dilakukan oleh setiap manusia, bahkan hewan, yang tidak ada problem dengan pendengarannya (baca: tuli), tetapi mendengarkan atau mendengar sepenuh hati (al-istima') hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu. Salah satu bukti bahwa kita bisa mendengarkan, kita mampu memberikan tanggapan (response), bukan reaksi (reaction) terhadap lawan bicara kita. Reaksi dengan tanggapan adalah dua hal yang hampir sama, tetapi sebenarnya berbeda, dan kita sering kesulitan membedakannya.
Secara sederhana, reaksi bisa didefinisikan sebagai sebuah tindakan untuk menandingi atau untuk menghadapi tindakan sebelumnya maupun yang sedang terjadi (action). Sedangkan response adalah memberikan pehatian terhadap apa yang dilakukan oleh orang lain dan berupaya memahaminya serta memberi umpan balik yang terbaik. Terlepas umpan balik itu bersifat positif atau negatif. Sikap yang reaktif membuat orang lain merasa disepelekan, tidak dianggap dan tidak didengar, sementara respons yang baik membuatnya merasa diperhatikan dan dihargai. Kalau kita memberikan respons, ia tidak akan merasa diabaikan pendapatnya ketika kita tidak menyetujui usulannya karena kita memerhatikan usulan-usulannya, harapannya, dan suara hatinya. Ia melihat ketidaksetujuan kita karena pertimbangan untuk mencapai kemaslahatan bersama, bukan karena tidak menghargainya. Akan tetapi, apabila menolak secara reaktif, ia akan merasa kita mau menang sendiri sehingga jangan kaget bila akhirnya ia berkomentar yang kurang enak didengar, misalnya “Ya udah, saya nggak usah ngomong, percuma saya ngomong kalau kamu nggak menganggap penting.” Sering kita mendengar bukan, ungkapan yang demikian?
Bagaimana agar kita bisa mendengarkan dengan baik? Agar bisa mendengar sepenuh hati, kiranya perlu belajar memberi tanggapan yang hangat (negatif maupun positif). Bukan mereaksi. Tanggapan yang hangat bisa ditunjukkan dengan kata-kata, atau bahasa tubuh. Memberikan tanggapan bisa dengan ekspresi wajah kita, gerak tubuh, atau sikap duduk kita. Sederhana bukan? Memang! Sangat sederhana! Yang tidak sederhana adalah menata hati untuk melaksanakannya. Telinga kita dua, sedangkan mulut cuma satu, tetapi alangkah sedikitnya kita menggunakan telinga.
Selain memberikan respons kepada lawan bicara, mendengar dengan baik dapat dibuktikan dengan memberikan empati (merasakan apa yang dialami oleh orang lain sebagaimana dia merasakan), memberikan perhatian yang hangat, dan membuka hati untuk menerima.
Jamies K. Van Fleet (1999) menawarkan lima teknik agar kita bisa mendengar sepenuh hati sehingga orang lain mau membuka diri dan mau berbicara dengan kita. Pertama, melihat kepada orang yang berbicara. Jangan sampai kita terusik oleh apa pun juga. Orang yang sedang berbicara akan segera mengetahui kurangnya perhatian kita dan akan kecewa karenanya. Kedua, tunjukkan minat pada apa yang ia katakan. Jangan ucapkan sepatah kata pun. Anggukkan saja kepala kita dan senyumlah jika perlu. Ketiga, condongkan badan ke arah orang itu. Ini menunjukkan kepedulian mendalam pada apa yang dikatakan oleh orang lain. Keempat, gunakan umpan balik agar ia tetap berbicara. Kita dapat menunjukkan kepedulian kita dan menjaga agar lawan bicara tetap berbicara dengan mengatakan hal-hal seperti 'WalLâhi'... oh, ya... saya tahu... itu memang benar. Kelima, ajukan pertanyaan bila perlu. Yang perlu kita lakukan hanya bertanya, "Lantas apa yang Anda katakan padanya?" atau, "Kemudian, apa yang Anda lakukan?" Itu sudah cukup untuk tidak membuat orang lain kecewa, dan menjaga agar orang itu tetap berbicara untuk jangka waktu tak terbatas.
Selain lima teknik yang tawarkan Jamies, Les Giblin (1995) menambahkan dua teknik lagi, untuk melengkapi teknik-teknik yang ditawarkan Jamies. Pertama, tetap mengikuti bahan percakapan si pembicara. Jangan mengganti bahan percakapan yang sedang dikemukakan orang lain sebelum dia selesai, tidak peduli apakah kita tidak sabar ingin memulai bahan percakapan baru. Kedua, gunakan kata-kata si pembicara untuk menyampaikan pendapat kita sendiri. Setelah orang lain selesai bicara, ulangi kembali kepadanya bebera hal yang dikatakannya. Ini bukan hanya membuktikan bahwa kita mendengarkan, melainkan juga merupakan cara yang baik untuk mengemukakan gagasan kita tanpa perlawanan. Awali beberapa komentar kita sendiri, dengan, "Sebagaimana yang telah Anda katakan..." atau, "Ini tepat seperti yang Anda katakan..."
Bila kita dapat berhasil mempraktikkan teknik-teknik mendengarkan yang ditawarkan oleh Jamies dan Giblin, berarti kita sudah menjadi pendengar sepenuh hati. Tindakan kita akan memberikan kesan positif pada lawan bicara. Bukan hanya itu! Mendengar sepenuh hati bukan hanya tidak mengecewakan orang lain, tetapi juga, "Anda akan disukai dan populer di mana pun Anda berada!" kata Jamies dengan penuh percaya diri.
***
Pembicaraan tentang mendengar sepenuh hati agar lebih sempurna, kita perlu menilik dan memeriksa—serta menghindari—beberapa hal yang dapat merusak "pendengaran" kita. Penilikan ini sangat penting, agar kita tidak sia-sia dalam mendengarkan.
Ibarat ibadah, meskipun kita sudah melakukannya dengan khusyu dan penuh kesungguhan, tetapi bila bercampur dengan syirik maka tak ada nilainya sama sekali. Begitu pula mendengar. Sekalipun kita tulus mendengarkannya, tetapi bila tak dapat menepis hal-hal yang merusak kebaikan mendengar maka kerelaan mendengar itu boleh jadi tidak membawa kebaikan.
Mohammad Fauzil Adhim (2002) mensinyalir, setidaknya ada lima faktor yang dapat membuat telinga tak bisa mendengar dengan baik. Pertama, memotong pembicaraan. Kesabaran untuk tidak memotong pembicaraan, telebih ketika yang berbicara kepada kita sedang dikuasai emosinya, akan meluluhkan sikap yang keras, meredakan gejolak amarah yang membakar, dan membangkitkan kebahagiaan pada hati yang sedang bersemangat. Kita, mungkin, masih ingat dengan seorang sahabat benama Uthbah yang datang hendak mematahkan semangat dan menjatuhkan Nabi Muhammad saw. dapat berubah secara mengejutkan karena kesabaran Nabi dalam mendengarkan dan sama sekali tidak memotong pembicaraan Uthbah.
Suasana psikologis yang paling tidak menyenangkan apabila kita sedang bersemangat sekali untuk bercerita, apalagi bila cerita itu sangat emosional, kemudian dipotong secara tiba-tiba. Bukan saja bisa membuat kita dongkol, pembicaraan yang terpotong tiba-tiba dapat menimbulkan situasi psikologis yang sangat tidak nyaman dan pikiran kita mengalami blocking. Kita tiba-tiba lupa akan apa yang mau kita bicarakan. Kita tiba-tiba mengalami transferensi atau pengalihan perasaan. Yang awalnya rasa tidak nyaman karena pembicaraan terpotong berubah menjadi kemarahan dan, bahkan, kebencian kepada orang yang memotong pembicaraan kita.
Kedua, menghakimi. Bila ada orang berbicara kepada kita, bersabarlah sejenak, usahakan untuk tidak menghakimi, apalagi menyalahkan. Menghakimi tanpa minta penjelasan (tabâyun) atau memvonis tanpa mendengarkannya sampai tuntas, akan mudah menyesatkan.
Ketika Rasulullah Saw. menghadapi pemuda yang datang kepada beliau untuk meminta izin berzina, Rasulullah Saw. tidak memberinya cap sebagai pendurhaka, tidak juga divonis sebagai penentang agama. Rasulullah Saw. memberinya kesempatan untuk berbicara. Dari sanalah beliau dapat mengarahkan pemuda tersebut kepada jalan kesucian tanpa perlu menyalahkan.
Ketiga, menerangkan. Saat percakapan berlangsung, kita mungkin sering mengalami, lawan bicara kita memberikan penjelasan atau komentar (ta'lîq) tidak perlu. Salah satu contoh penjelasan yang tidak perlu, tetapi sering terjadi di sekeliling kita, adalah ketika ada orang asyik menceritakan, "Waktu itu kak, saya belum tahu chating...?" Sebelum selesai berbicara, tiba-tiba lawan bicaranya menyahut, "Chating itu Mbak Siti, kan tinggal klik icon Yahoo Messenger, kemudian tulis ID dan Password, atau klik icon mIRC tulis nick dan chanel...."
Mari kita lihat kekeliruan yang terjadi pada percakapan tadi. Pertama, orang pertama sudah mengatakan bahwa ketidaktahuannya terjadi pada masa lalu. Frasa "waktu itu" menunjukkan bahwa saat ini dia sudah tidak lagi seperti waktu dahulu, dia sudah paham betul apa yang dulu dia tidak mengerti. Oleh arena itu, tidak perlu kita terangkan. Kedua, menerangkan perkara-perkara yang tidak perlu diterangkan justru menunjukkan satu di antara dua, atau bahkan kedua-duanya, yakni kesombongan atau kebodohan kita. Orang sombong menganggap orang lain berada di bawahnya sehingga ia ingin menunjukkan ketinggiannya, sedangkan yang bodoh berkata tanpa ilmu. Ia ingin menunjukkan kepandaiannya yang sangat sedikit, dan justru di situlah tampak betapa sedikitnya ilmu yang ia miliki.
Keempat, menasihati. Nasihat menasihati itu perintah agama; melaksanakannya merupakan kebaikan. Akan tetapi, ia berubah menjadi keburukan kalau kita tidak menyertai dengan cara yang tepat. Di antara sumber keburukan adalah hilangnya kesabaran. Kita tidak mampu menahan diri untuk manasihati. Bila kita mau mendengar sejenak, bisa jadi kita justru tak perlu memberi nasihat. Bersabarlah sejenak, bisa jadi orang yang akan kita beri nasihat sudah menyadari kekeliruannya.
Kelima, merasa tidak sabar. Tidak sabar mendengar bersumber dari keengganan untuk mendengarkan. Munculnya keengganan itu bisa karena ada hal yang lebih menarik bagi yang bersangkkutan, sedang tidak berminat untuk berbicara, atau karena tidak meminati isi pembicraan, atau bisa juga karena dia memang terbiasa tidak mendengarkan dengan baik.
Betapa sulitnya mendengarkan pada saat kita sedang berkeinginan untuk melakukan hal-hal lain. Semoga kita merupakan bagian dari "al-ladzina yastami'ûna al-qawla wa yattabi'ûna ahsanahu".
Nasr City, Kairo, medio 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar